Rss Feed


  1. Here comes my self on the insecure state again:

    Ketika lo bertemu seseorang yang menyentuh hidup lo dengan cara mereka yang “menarik”, kemudian apa lo pernah juga berpikir, "apakah mereka akan tinggal lama di hidup gue? Atau akan pergi dengan cepatnya? Will them still be the one I adore in the first place? Will them change? Or will ourselves change first? Why?"

    Dan sampailah pada kesimpulan bahwa... seseorang bertahan dalam singgasananya masing-masing di hati kita bukanlah karena cara mereka berpakaian, cara mereka berdandan, berapa banyak uang mereka, berapa lama mereka dengan kita.. tapi, bagaimana cara mereka berpikir. Bagaimana cara mereka berkomunikasi. Akankah mereka tetap disana saat kita gak sedang dalam keadaan sempurna? Saat kita bersalah?
    Its not that you’re cute, s/he’s cute, s/he’s adorable and talented but.... S/he’s acceptance. S/he’s nice, not harsh.

    So yeah.

    Appreciate any other one who’s coming. Entahlah mereka akan tinggal lama, atau mungkin hanya sesaat. Entahlah mereka akan memberikan kita ilmu apa atas kehadirannya. Hanya selalu ingat satu hal “everything happened for a reason”.

    The most important thing... appreciate the one who’s staying for a long time. They stay still tho? How amazing.... They’re all are blessings.



    Dedicated untuk Ibu, Nenek, Kakek, Adik, all of my family members,
    Elin, Tiara, Listi, Kiki, Arsyad, Ali, Nevi, Ayu, Bani,
    Uma, Ama, Anun, Usi,
    Metty, Visa.

    Wish you would stay in my life for a very, very long time.



  2. Neya tengah berdiri disana, memandang deretan pepohonan lebat dan berwarna hijau tua -beberapa berwarna zamrud-, dahannya bergerak-gerak kecil karena tiupan angin sore. Di belakang pepohonan, terbentang jalanan cukup besar yang tak seperti biasanya, tiada kemacetan terlihat disana, hanya lengang saja yang ada. Rintik hujan tersengal-sengal, meninggalkan warna aspal yang menghitam. Satu dua mahasiswa terlihat keluar dari gedung yang ia tempati, berlari-lari kecil melintasi zebra cross saat lampu merah, menghindari sisa rintik yang menyergap tubuh. Walaupun begitu, langit di sore itu mulai dihiasi guratan jingga diantara awan-awan kelabu, membuat Neya bahagia karenanya. Pandangannya masih tertuju pada deretan pepohonan, sesekali keningnya berkerut dalam –ia tengah dalam dunianya sendiri, meikirkan ini dan itu-, lalu ia akan mengalihkan pandangannya pada langit yang teramat ia sukai, dan kembalilah senyuman terkulum menghiasi wajahnya.

    Tentang banyak hal, idealisme tak pelak mengalahkan realismenya. Maka, Neya hanya memasukan hal-hal baik yang ia yakini berguna untuk kehidupannya kelak, juga memori-memori bahagia yang membuatnya senantiasa merasa hangat. Tentang kebersyukuran atas hidupnya yang lebih dari sekadar cukup; keluarga dan sahabat yang Tuhan kirim dengan sempurna, pendidikan yang memadai, tempat bernaung yang teramat nyaman. Tentang bahasa romansa dengan “seseorang” yang Tuhan berikan dengan sederhana, Neya juga suka. Saat ini pada Tuhannya, Neya berterimakasih karena kebaikan yang berlimpah setiap waktu.

    Neya sedang mengulum senyum ketika tetiba pikirannya beralih pada pepohonan di hadapannya yang tiada pernah menguning, atau menua menjadi orange, pun coklat dan berguguran berduyun-duyun –seperti di negara non tropis yang ia senantiasa rindu untuk dikunjungi. “Yah.. pada akhrinya mereka pasti menua, dan akan jatuh juga. Segini masih indah kok..” gumamnya. Lalu pikiran sore ini ia akhiri dengan helaan napas panjang, cukup sudah.. waktunya pulang.

    ***

    Berbeda dengan hari kemarin, karena beberapa hambatan yang tak bisa ia hindari, hari ini Neya pulang terlambat. Gemintang malam tengah menyambut Neya, tiada awan senja yang menyapa. Ibunya menelepon berkali-kali, “ini sudah terlalu larut Ney, menginap saja di teman..” katanya. Namun Neya memiliki agenda yang tiada mungkin terlaksana jika ia tak pulang malam ini.
    Bergegaslah ia dengan sigap  menuju halte bis, dan ternyata beberapa wanita juga sedang menunggu disana. Neya tersenyum lega, dan mengencangkan sweater hangatnya, malam ini cukup menusuk. Neya menyempatkan membeli secangkir kopi dan roti yang akan ia santap dalam bis. “Everything happened for a reason. Harus pulang, stick on the plan Ney..” bisiknya pada diri sendiri.  
    Lampu-lampu kota bercahaya sendu menerangi gedung-gedung yang tak terlalu tinggi. Baginya itu nampak sendu, karena cukup temaram dan tiada menyilaukan mata –Neya suka. Pahitnya Ristretto mencakar setiap tastebud pada lidah Neya, lalu ia mengernyit. Dua Croissant ukuran sedang tinggal remahnya saja, berjatuhan pada permukaan tas dipangkuannya. Perutnya kini terisi, ia yakin efek kopi pahit tadi akan membuat matanya terjaga hingga sampai rumah, sebentar lagi sampai.
    Sekonyong-konyong Neya menghidu wangi yang sungguh ia kenal, membawanya pada memori tentang seseorang. Neya tersenyum, sudah lama juga sejak terakhir kali ia bertemu dengan “dia”. Neya tidak rindu, tidak ingin bertemu. Lalu ia tersenyum sendu pada persimpangan yang lengang melalui kaca jendela bis.
    Satu mobil putih mencuat cepat di persimpangan jalan, berbelok lalu mengambil jalur yang sama dengan bis yang sedang Neya tumpangi. Kaca supir mobil tersebut tidaklah tertutup, dan secara langsung memperlihatkan siapa pengendaranya. Neya melihatnya sesaat, lalu terpejam sekejap karena cukup mengantuk. Sepersekian detik, mata Neya membelalak, wajah itu.. rambut itu.. bahu itu.. lengan itu.. Neya mematung dengan pandangan melekat pada sosok tersebut.
    Akhirnya Neya bertemu jua dengannya. Setelah sekian lama Neya tiada rindu, kini jantungnya berdegup lebih cepat. Keningnya berkerut dalam, “kamu kelihatan sehat. Syukurlah” bisiknya pada lapisan kaca jendela yang berembun. Sepersekian detik, Neya merasakan matanya panas karena air mata hendak menetes tanpa ia sadari.
    Lalu mobil putih itu hilang pada persimpangan selanjutnya, ia memutar arah. Kini semakin malam, udara semakin menusuk, Neya melihat ia menutup kaca mobilnya.  
    “Everything happened for a reason. Terimakasih, aku.. sempat membeli kopi dan roti. Terimakasih sudah membuka kaca mobilmu. Terimakasih telah dalam kecepatan itu. Terimakasih Tuhan, untuk lembur hari ini”
    Neya lagi-lagi menyukai bahasa romansa yang Tuhan berikan. Dibungkus dalam wadah yang paling sederhana, warna paling muda, karena Tuhan paling tahu.. Neya, pun seseorangnya.. belum pada saat yang tepat untuk kembali merangkai kata hingga saling berbicara.

    “Yang kali ini, biarlah menjadi obat rinduku untuk waktu yang lama. Mulai detik selanjutnya, aku sudah tak rindu, tidak..”
    ***



  3. Two things?

    Monday

    When life gives you two things in almost same time; crazily happy and madly gloomy.
    I'm about to cry tonight, but suddenly you come.
    Tearing up like a fool, it's just insane that you give me an adrenaline rush.
    How could-
    You're so attractive, I'm drowning in a sweet lucid dream.
    Imma butthurt, you're just a fantasy.
    Life is a cruel dangerous thing, I'm almost crying a river, tonight.
    Time passed by, everything is still out of control, I'm wrecked.
    I'm messing my life, like I did before.
    I can't breath, despite this room is full of oxygen.
    My brain is still supplied by a bunch of RBCs. I'm supposed to be okay.
    I lift up my head, and begin to realize,
    Your shilloute somehow mesmerizes my wistful soul.
    Kind of two things tonight, I feel both.
    Yes, we're in million miles, but I'm a loony.
    I can feel you.
    Vaguely playing around with the tears
    of mine.
    You smile, I smile.
    I'm not a bipolar early 20s girl, but maybe you're right.
    This passion would reach you impatiently.
    You will be poisoned by my affection.
    Hold on,



    Aren't you just my piece of mind?

  4. Kau Hari Ini

    Wednesday

    Hari ini pada akhirnya tiba.
    Senyummu merekah, namamu menjadi mewah. Bahagiamu terperah. Dan sebenarnya, pun bahagiaku buncah. Dalam diam yang tiada lelah.

    Bunga-bunga dalam balutan kertas berwarna berpindah tangan, banyak yang kemudian meringkuk dipangkuanmu nyaman. Kau bawa kesana kemari, lalu mereka meminta berfoto denganmu berkali-kali.
    Adakah kelak dariku datangnya benda bermakna yang misalnya serupa bunga atau selainnya, dan kau genggam kemana saja?
    Selamat ya! Celoteh mereka. Andai saja, diri ini kuasa mengatakan hal serupa. Tidak, rupanya hanya doa dalam diam, kusuguhkan setia.

    Tawa gempita merambat di dinding ruangan, berian untukmu dalam ruak kebersyukuran. Kidung khidmat dariku saja, mengalun lembut bak angin senja walau tiada telingamu dapat mendengarnya.

    Lalu,
    Aku sadar satu waktu, 
    Kau sedang berdiri di hadapan diri walau jarak tak pula dekat. Tiada penghalang, masih bisa kulihatmu lamat.
    Tetiba, pandangmu melompat cepat pada tempatku berdiri kini. Beberapa detik, bukan biasanya yang sedikit. Tak terhalau aku melihatmu jua. Bibirmu membeku, tiada walau sisipan seringai. Takut-takut, senyum tipis dariku tertaut. Setelahnya, sunggingan bibirmu nampak, membalasku telak.
    Kemudian aku kalah, dan hanya menjauh melangkah.

    Terlampau, rupawan.


    Ku temukan dirimu ternyata bertanya-bertanya.
    Lalu kau menebak-nebak, hingga menemukan jejak-jejak.
    ...
    ...
    ...





    Aku senantiasa. Disini.


  5. Kelak akan tiba saat,
    Aku rindu.
    Kelak akan tiba saat,
    ketiadaanmu di gedung ini mendahuluiku, 
    menyisakan bayang semu
    dalam terangnya cahaya lampu
    terpantul pada kemejamu yang abu,
    menyinari wajahmu yang sendu.



    Bandung, 2015.

  6. Kehilangan

    Saturday

    Kehilangan memang selalu menjadi hal yang tak mudah.
    Sesuatu yang semestinya disana, kini hilang entah kemana.
    Sesuatu yang semestinya bersama, kini pergi entah dalam waktu berapa lama. Sekedar beberapa saat saja, atau mungkin selamanya.
    Sesuatu yang semestinya terlihat, kini hanya berbentuk kenangan bahwa ia memang pernah selalu melekat.
    Sesuatu yang semestinya ada dalam kenyataan, kini hanya sebongkah ingatan yang meninggalkan jejak goresan kebersamaan.

    Namun sejatinya, apa yang kita punya merupakan titipanNya. HakNya lah untuk mengambil sesuatu tersebut kapan saja, dimana saja.
    Dan kewajiban kitalah untuk menjaga titipan sebaik-baiknya, sebelum Dia dengan tak terduga mengambilnya lagi....
    Yang hilang biarlah tak jua kembali. Mungkin memang bukan rejeki. Setidaknya, dengannya kita tahu, bahwa tiada pernah apapun menjadi abadi... Hanya titipan Ilahi.
     
    Walau tak salah, ketika harap masih ada walau hanya sekedar hinggap. Walau keduanya haruslah didasari dengan rasa ikhlas yang berserah...


    Dear, jam tangan yang hilang diatas tembok mushala........ Kebersamaan kita tak lebih dari setahun. Namun pengabdianmu hebat, dalam panas terik ataupun hujan lebat.. Tak pula kau menjadi berkarat.
    Garis putih kau tuai diatas kulit tangan kiriku. Menjadi bukti nyata kesetiaanmu, dalam mengingatkanku dengan cara yang membuat mata ini membulat, terperanjat, karena waktumu 30 menit mempimpin waktu-waktu jam lain.
    Walau tak lagi melekat erat di tangan ini, setidaknya.. melingkarlah di tangan lain. Bermanfaatlah, meski tak lagi bersama pecinta pertamamu.
     
    Atau, melingkarlah.... Dan buatlah pemilik barumu merasakan cintaku yang besar untukmu, hingga ia sudi mengembalikanmu pada perlekatan lamamu.



    04 Juni 2013. Ireneu Lestari dengan rasa kehilangan... Maafkan aku untuk ia yang memberiku jam hilang itu sebagai sebuah hadiah. :"(


  7. Ya Allah.. Perkenankanlah kami berkumpul kembali kelak di surgaMu. Kumpunkanlah kembali seluruh keluarga, sahabat, dan teman yang teramat kami sayangi  dalam kebahagiaan kekal di diatas langit ketujuh didekat sidratul muntahaMu..

    Perkenankanlah kami saling menatap bahagia dengan orang-orang yang kami sayangi, melihat diri yang dihiasi dengan gelang emas dan pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal, sedang kami duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah..

    Perkenankanlah kami berada di tempat peristirahatan terakhirMu yang paling indah, yang berisi kesejahteraan tanpa sedikitpun penderitaan..

    Perkenankanlah kami menangis bahagia ketika kami menginjak istanaMu yang megah dan terbuat dari emas juga perak, catnya dari minyak kesturi, lalu batu kerikil dan pasirnya terbuat dari intan dan mutiara. Kemudian  mengalir di bawahnya sungai-sungai paling memukau yang pernah tertangkap oleh pandang mata titipanMu ini ya Allah..

    Perkenankanlah Kami bercengrama di taman-taman surgawi yang dikelilingi bidadara bidadari dengan rupa menawan hati dan bermata jeli..

    Aamiin ya Rabb, aamiin ya Rabbalalamin...