Rss Feed

  1. Langit hitam mulai menyapa sore itu. Mendung, tapi ramai dan bahagia. Wajah-wajah murid sekolah yang sumringah –sewajarnya karena pulang sekolah, motor-motor yang lalu lalang menuju gerbang, menuju kebebasan dari kewajiban bersekolah yang membuat penat, seseorang dengan seseorang-nya. Kelihatannya hari yang.. cukup indah. Aku, dalam duniaku sedang berjalan bersama teman-teman terbaikku sambil tertawa dengan menyiratkan kebahagiaan juga –setidaknya bagiku. Kami berjalan dengan kecepatan jauh daripada mereka yang mengejar les di jam pulang sekolah. Santai. Dan aku amat suka. Aku dalam duniaku, yang kini terkena syndrome ‘cinta sekolah’ begitu berat melepas masa-masa di sekolah. Aku yang tidak mau berpisah dengan sekolah ini, saat ini. Aku yang benar-benar masih ingin di tempat ini. Ya, aku yang sebenarnya belum mau pulang.
    Aku yang sedang mencari seseorang-ku.
    Dalam perjalanan yang dengan sengaja aku lambatkan, aku sedang mencarinya. Hanya untuk melihatnya, tidak lebih. Kalau aku beruntung, maka ia belum pulang dan aku masih bisa melihatnya. Tidak usahlah bertegur sapa atau bahkan mengobrol. Tidak usah, sekarang ini aku hanya butuh melihat saja, karena aku sudah akan menjauhi tempat ini yang berarti aku tidak akan sempat melihatnya hari ini. Aku sedang di gerbang sekolah.. sekarang sudah di depan sekolah dan.. dan.. yep, salah satu teman ingin jajan ke warung dekat gerbang sekolah. Otomatis kami menunggu, dan aku pun tertahan disana beberapa waktu. Syukurlah… Tidak lama, dari kejauhan..
    Deg.
    Aku menemukannya. Aku menemukan ia yang sedang bersama teman-temannya. Aku melihat rautnya ketika itu. Dan aku tahu, ia juga sedang mencariku..
    Temanku selesai, dan kami berjalan pulang. Benar-benar akan menjauhi sekolah. Ku pijakkan langkahku menjauhinya tetapi kakiku menolak rangsangan otakku yang mengharuskan aku berjalan. Rasanya berat. Tetapi mungkin aku tahu wahai Seseorang Yang Disana, hatiku yang memberatkan semua.
    Rasa terimakasihku karena sore ini aku masih dan dapat melihatnya melalui mataku, dan hatiku.
    Aku berjalan semakin menjauhi sekolah, menjauhinya. Benar-benar tidak berani menoleh ke belakang untuk melihatnya lagi, karena pasti akan menyedihkan –melihat, kemudian berpisah-. Aku tahu itu sangat menyebalkan. Pada akhirnya, sebelum menyebrang dan makin menjauh, aku menoleh ke arah dimana ia berada, satu kali aku janji. Dan saat itu juga, aku melihatnya lagi. Bahkan sekarang aku melihat pandanganmu, matamu, Nar.
    Kamu menemukanku.
    Diparkiran itu, tidak hanya dia. Tapi hanya ia yang menoleh ke arah belakang dan mengamati sesuatu di jalan itu, dekat aspal luar pagar sekolah. Jalan yang mengantarku pulang. Pandangannya mengantarku menuju perjalanan pulang paling menyenangkan. Jauh lebih baik dari kendaraan tercanggih sekalipun.
    Dan kita berdua, saling tersenyum. Aku mengingatnya. Senyum kita yang mengembang…

  2. Don't

    Thursday

    ini banget...

  3. Ruang Makan

    Tuesday


    Barisan kedua dari belakang, paling pojok dekat pintu. Itu bangku kami. Kami selalu disana. Tidak pernah berpindah-pindah seperti yang lain. Entahlah sejak kapan, bangku itu menjadi bangku paten kami. Saya, entah sejak kapan pula mempunyai sebuah ikatan. Tidak rela bila seseorang selain kami bersantap ria atau sekedar duduk-duduk di sana, saat kami akan dan sedang di ruangan itu.
    Ketika ada seorang teman bergabung dengan kami di bangku itu, saya kesal. Sumpah saya kesal. Alasanya karena ia bukan kami. Bangku itu menjadi tempat khusus kami. Setidaknya itu yang saya rasakan. Apapun dapat kami bicarakan disana. Apapun selalu kami lakukan disana. Hanya dengan kami. Disana, kami menyatu.
    Pernahkah kalian menyadari kenyamanan selalu menyertai ketika kita disana, bersama? Sadar tidak kita selalu bahagia walau sekecil apapun dan bagaimanapun keadaan sebelumnya? Saya selalu. Rasanya menyenangkan apalagi ketika bagian kita saling berbicara jujur. Ingat tidak, kita pernah membahas tentang ‘jurang pemisah’? se-detail apapun kita mencoba menyelsaikan masalah kita, se-besar apapun kita berusaha, justru membuat kita semakin jauh. Seperti ada jurang pemisahnya.
    Sejujurnya, saya merasakan itu juga, teman-teman terkasihku. Jurang pemisah. Sekalipun ketika kita dekat sedekat apapun, tetap saja rasanya aneh, jurang pemisahnya sulit untuk tidak dirasakan. Masih terasa. Saya heran, kenapa seperti itu ya?
    Maaf, bila dengan tidak disadari saya menjadi komponen pembangun jurang menyebalkan itu, teman-teman.
    (16 September 2010.)

  4. i have no idea to write somethin' now. but i have a thing that i wanna tell so long then.
    its about my beloved great class. electone.