Rss Feed
  1. Neya tengah berdiri disana, memandang deretan pepohonan lebat dan berwarna hijau tua -beberapa berwarna zamrud-, dahannya bergerak-gerak kecil karena tiupan angin sore. Di belakang pepohonan, terbentang jalanan cukup besar yang tak seperti biasanya, tiada kemacetan terlihat disana, hanya lengang saja yang ada. Rintik hujan tersengal-sengal, meninggalkan warna aspal yang menghitam. Satu dua mahasiswa terlihat keluar dari gedung yang ia tempati, berlari-lari kecil melintasi zebra cross saat lampu merah, menghindari sisa rintik yang menyergap tubuh. Walaupun begitu, langit di sore itu mulai dihiasi guratan jingga diantara awan-awan kelabu, membuat Neya bahagia karenanya. Pandangannya masih tertuju pada deretan pepohonan, sesekali keningnya berkerut dalam –ia tengah dalam dunianya sendiri, meikirkan ini dan itu-, lalu ia akan mengalihkan pandangannya pada langit yang teramat ia sukai, dan kembalilah senyuman terkulum menghiasi wajahnya.

    Tentang banyak hal, idealisme tak pelak mengalahkan realismenya. Maka, Neya hanya memasukan hal-hal baik yang ia yakini berguna untuk kehidupannya kelak, juga memori-memori bahagia yang membuatnya senantiasa merasa hangat. Tentang kebersyukuran atas hidupnya yang lebih dari sekadar cukup; keluarga dan sahabat yang Tuhan kirim dengan sempurna, pendidikan yang memadai, tempat bernaung yang teramat nyaman. Tentang bahasa romansa dengan “seseorang” yang Tuhan berikan dengan sederhana, Neya juga suka. Saat ini pada Tuhannya, Neya berterimakasih karena kebaikan yang berlimpah setiap waktu.

    Neya sedang mengulum senyum ketika tetiba pikirannya beralih pada pepohonan di hadapannya yang tiada pernah menguning, atau menua menjadi orange, pun coklat dan berguguran berduyun-duyun –seperti di negara non tropis yang ia senantiasa rindu untuk dikunjungi. “Yah.. pada akhrinya mereka pasti menua, dan akan jatuh juga. Segini masih indah kok..” gumamnya. Lalu pikiran sore ini ia akhiri dengan helaan napas panjang, cukup sudah.. waktunya pulang.

    ***

    Berbeda dengan hari kemarin, karena beberapa hambatan yang tak bisa ia hindari, hari ini Neya pulang terlambat. Gemintang malam tengah menyambut Neya, tiada awan senja yang menyapa. Ibunya menelepon berkali-kali, “ini sudah terlalu larut Ney, menginap saja di teman..” katanya. Namun Neya memiliki agenda yang tiada mungkin terlaksana jika ia tak pulang malam ini.
    Bergegaslah ia dengan sigap  menuju halte bis, dan ternyata beberapa wanita juga sedang menunggu disana. Neya tersenyum lega, dan mengencangkan sweater hangatnya, malam ini cukup menusuk. Neya menyempatkan membeli secangkir kopi dan roti yang akan ia santap dalam bis. “Everything happened for a reason. Harus pulang, stick on the plan Ney..” bisiknya pada diri sendiri.  
    Lampu-lampu kota bercahaya sendu menerangi gedung-gedung yang tak terlalu tinggi. Baginya itu nampak sendu, karena cukup temaram dan tiada menyilaukan mata –Neya suka. Pahitnya Ristretto mencakar setiap tastebud pada lidah Neya, lalu ia mengernyit. Dua Croissant ukuran sedang tinggal remahnya saja, berjatuhan pada permukaan tas dipangkuannya. Perutnya kini terisi, ia yakin efek kopi pahit tadi akan membuat matanya terjaga hingga sampai rumah, sebentar lagi sampai.
    Sekonyong-konyong Neya menghidu wangi yang sungguh ia kenal, membawanya pada memori tentang seseorang. Neya tersenyum, sudah lama juga sejak terakhir kali ia bertemu dengan “dia”. Neya tidak rindu, tidak ingin bertemu. Lalu ia tersenyum sendu pada persimpangan yang lengang melalui kaca jendela bis.
    Satu mobil putih mencuat cepat di persimpangan jalan, berbelok lalu mengambil jalur yang sama dengan bis yang sedang Neya tumpangi. Kaca supir mobil tersebut tidaklah tertutup, dan secara langsung memperlihatkan siapa pengendaranya. Neya melihatnya sesaat, lalu terpejam sekejap karena cukup mengantuk. Sepersekian detik, mata Neya membelalak, wajah itu.. rambut itu.. bahu itu.. lengan itu.. Neya mematung dengan pandangan melekat pada sosok tersebut.
    Akhirnya Neya bertemu jua dengannya. Setelah sekian lama Neya tiada rindu, kini jantungnya berdegup lebih cepat. Keningnya berkerut dalam, “kamu kelihatan sehat. Syukurlah” bisiknya pada lapisan kaca jendela yang berembun. Sepersekian detik, Neya merasakan matanya panas karena air mata hendak menetes tanpa ia sadari.
    Lalu mobil putih itu hilang pada persimpangan selanjutnya, ia memutar arah. Kini semakin malam, udara semakin menusuk, Neya melihat ia menutup kaca mobilnya.  
    “Everything happened for a reason. Terimakasih, aku.. sempat membeli kopi dan roti. Terimakasih sudah membuka kaca mobilmu. Terimakasih telah dalam kecepatan itu. Terimakasih Tuhan, untuk lembur hari ini”
    Neya lagi-lagi menyukai bahasa romansa yang Tuhan berikan. Dibungkus dalam wadah yang paling sederhana, warna paling muda, karena Tuhan paling tahu.. Neya, pun seseorangnya.. belum pada saat yang tepat untuk kembali merangkai kata hingga saling berbicara.

    “Yang kali ini, biarlah menjadi obat rinduku untuk waktu yang lama. Mulai detik selanjutnya, aku sudah tak rindu, tidak..”
    ***



  2. 1 comments:

    1. Semoga cepet rilis karya yaa (Buku/Novel). Kutunggu

    Post a Comment