Neya tengah berdiri disana, memandang deretan pepohonan lebat dan
berwarna hijau tua -beberapa berwarna zamrud-, dahannya bergerak-gerak kecil
karena tiupan angin sore. Di belakang pepohonan, terbentang jalanan cukup besar
yang tak seperti biasanya, tiada kemacetan terlihat disana, hanya lengang saja
yang ada. Rintik hujan tersengal-sengal, meninggalkan warna aspal yang
menghitam. Satu dua mahasiswa terlihat keluar dari gedung yang ia tempati, berlari-lari
kecil melintasi zebra cross saat
lampu merah, menghindari sisa rintik yang menyergap tubuh. Walaupun begitu, langit
di sore itu mulai dihiasi guratan jingga diantara awan-awan kelabu, membuat
Neya bahagia karenanya. Pandangannya masih tertuju pada deretan pepohonan,
sesekali keningnya berkerut dalam –ia tengah dalam dunianya sendiri, meikirkan
ini dan itu-, lalu ia akan mengalihkan pandangannya pada langit yang teramat ia
sukai, dan kembalilah senyuman terkulum menghiasi wajahnya.
Tentang banyak hal, idealisme tak pelak mengalahkan realismenya. Maka,
Neya hanya memasukan hal-hal baik yang ia yakini berguna untuk kehidupannya
kelak, juga memori-memori bahagia yang membuatnya senantiasa merasa hangat. Tentang
kebersyukuran atas hidupnya yang lebih dari sekadar cukup; keluarga dan sahabat
yang Tuhan kirim dengan sempurna, pendidikan yang memadai, tempat bernaung yang
teramat nyaman. Tentang bahasa romansa dengan “seseorang” yang Tuhan berikan
dengan sederhana, Neya juga suka. Saat ini pada Tuhannya, Neya berterimakasih
karena kebaikan yang berlimpah setiap waktu.
Neya sedang mengulum senyum ketika tetiba pikirannya beralih pada
pepohonan di hadapannya yang tiada pernah menguning, atau menua menjadi orange,
pun coklat dan berguguran berduyun-duyun –seperti di negara non tropis yang ia
senantiasa rindu untuk dikunjungi. “Yah..
pada akhrinya mereka pasti menua, dan akan jatuh juga. Segini masih indah
kok..” gumamnya. Lalu pikiran sore ini ia akhiri dengan helaan napas
panjang, cukup sudah.. waktunya pulang.
***
Berbeda dengan hari kemarin, karena beberapa hambatan yang tak bisa ia
hindari, hari ini Neya pulang terlambat. Gemintang malam tengah menyambut Neya,
tiada awan senja yang menyapa. Ibunya menelepon berkali-kali, “ini sudah terlalu larut Ney, menginap saja
di teman..” katanya. Namun Neya memiliki agenda yang tiada mungkin
terlaksana jika ia tak pulang malam ini.
Bergegaslah ia dengan sigap menuju
halte bis, dan ternyata beberapa wanita juga sedang menunggu disana. Neya
tersenyum lega, dan mengencangkan sweater hangatnya, malam ini cukup menusuk. Neya
menyempatkan membeli secangkir kopi dan roti yang akan ia santap dalam bis. “Everything happened for a reason. Harus
pulang, stick on the plan Ney..” bisiknya pada diri sendiri.
Lampu-lampu kota bercahaya sendu menerangi gedung-gedung yang tak terlalu
tinggi. Baginya itu nampak sendu, karena cukup temaram dan tiada menyilaukan
mata –Neya suka. Pahitnya Ristretto mencakar
setiap tastebud pada lidah Neya, lalu
ia mengernyit. Dua Croissant ukuran
sedang tinggal remahnya saja, berjatuhan pada permukaan tas dipangkuannya.
Perutnya kini terisi, ia yakin efek kopi pahit tadi akan membuat matanya
terjaga hingga sampai rumah, sebentar lagi sampai.
Sekonyong-konyong Neya menghidu wangi yang sungguh ia kenal, membawanya
pada memori tentang seseorang. Neya tersenyum, sudah lama juga sejak terakhir
kali ia bertemu dengan “dia”. Neya tidak rindu, tidak ingin bertemu. Lalu ia
tersenyum sendu pada persimpangan yang lengang melalui kaca jendela bis.
Satu mobil putih mencuat cepat di persimpangan jalan, berbelok lalu
mengambil jalur yang sama dengan bis yang sedang Neya tumpangi. Kaca supir
mobil tersebut tidaklah tertutup, dan secara langsung memperlihatkan siapa
pengendaranya. Neya melihatnya sesaat, lalu terpejam sekejap karena cukup
mengantuk. Sepersekian detik, mata Neya membelalak, wajah itu.. rambut itu..
bahu itu.. lengan itu.. Neya mematung dengan pandangan melekat pada sosok
tersebut.
Akhirnya Neya bertemu jua dengannya. Setelah sekian lama Neya tiada
rindu, kini jantungnya berdegup lebih cepat. Keningnya berkerut dalam, “kamu kelihatan sehat. Syukurlah”
bisiknya pada lapisan kaca jendela yang berembun. Sepersekian detik, Neya
merasakan matanya panas karena air mata hendak menetes tanpa ia sadari.
Lalu mobil putih itu hilang pada persimpangan selanjutnya, ia memutar
arah. Kini semakin malam, udara semakin menusuk, Neya melihat ia menutup kaca
mobilnya.
“Everything happened for a reason. Terimakasih,
aku.. sempat membeli kopi dan roti. Terimakasih sudah membuka kaca mobilmu.
Terimakasih telah dalam kecepatan itu. Terimakasih Tuhan, untuk lembur hari
ini”
Neya lagi-lagi menyukai bahasa romansa yang Tuhan berikan. Dibungkus dalam
wadah yang paling sederhana, warna paling muda, karena Tuhan paling tahu..
Neya, pun seseorangnya.. belum pada saat yang tepat untuk kembali merangkai
kata hingga saling berbicara.
“Yang kali ini, biarlah menjadi obat rinduku
untuk waktu yang lama. Mulai detik selanjutnya, aku sudah tak rindu, tidak..”
***